• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAKNA SYAWAL BAGI KAUM MUSLIMIN

MAKNA SYAWAL BAGI KAUM MUSLIMIN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pengajian rutin Selasanan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency merupakan satu kegiatan pengajian yang berbeda dengan pengajian lainnya. Di antara ciri yang menbedakannya adalah tentang narasumber  dan jamaah yang melakukan dialog secara intensif. Bahkan terkadang pertanyaan bisa dijawab oleh jamaah lainnya dan baru kemudian nara sumber memberikan tambahan atau menggaris bawahi atas jawaban dimaksud.

Selain itu juga diupayakan agar dalam mengaji berada di dalam nuansa hepi, yang ditandai dengan tertawa sebanyak 17 kali. Untuk pengajian kali ini diisi oleh Ustadz  Sahid Sumitro, seorang pakar dalam bidang pelatihan atau training pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang telah memiliki jam terbang yang tinggi. Pengajian dilaksanakan pada 07/05/2024.

Pak Sahid memberikan ceramahnya dengan tiga hal mendasar. Pertama, syawal itu terkait dengan makna peningkatan, yaitu meningkatnya amal ibadah kita kepada Allah SWT. Jadi harus diukur bagaimana keadaan ibadah kita pada sebelum puasa, pada waktu puasa dan bagaimana sesudah puasa. Meningkat artinya amal ibadah kita tersebut semakin baik dan semakin meningkat. Misalnya, jika pada waktu puasa itu kita tadarrus Qur’an  satu  juz sehari, maka apakah pada bulan Syawal itu naik lebih dari satu juz atau setidak-tidaknya bisa mempertahankan membaca satu  juz atau sekurang-kurangnya tetap membaca Qur’an.  Yang baik tentu saja jika terjadi peningkatan. Lalu di bulan puasa kita shalat sunnahnya banyak, ada tarawih ada witir, lalu setelah puasa itu kita meningkat atau justru tidak melakukan shalat sunnah. Jika kita pada bulan puasa itu suka sedekah, apakah sesudah bulan ramadlan kita tetap melakukan sedekah. Jadi yang penting meningkat.

Kedua, syawal itu berarti memulai perbuatan yang baik. Jadi artinya bahwa kita terus berupaya untuk melakukan perbaikan di dalam ibadah kita. Hidup selalu kita perbaharui untuk menjalankan kebaikan demi kebaikan. Kita merasa bahwa ada sesuatu yang kurang tepat di dalam ibadah kita, maka kita perbaharui. Ada kesepahaman untuk ibda’ bil khoir. Memulai sesuatu yang baik. Jika shalat kita terasa kurang khusyu’, maka harus diupayakan utuk khusyu’. Jika hati kita terasa belum tenang pada waktu dzikir, maka diupayakan untuk dapat melakukan dzikir dengan benar. Selalu berupaya untuk menjalankan kebaikan agar hidup menjadi semakin baik.

Ketiga, melakukan kebaikan secara berkelanjutan. Yang terbaik di dalam ibadah kepada Allah adalah konsistensi. Amantu billahi tsummastaqim. Saya beriman kepada Allah dan selalu konsisten. Jadi yang sesungguhnya diminta oleh Allah adalah konsistensi seseorang dalam melakukan ibadah kepada-Nya. Amalan yang sedikit tetapi  istiqamah itu jauh lebih baik dari pada banyak tetapi tidak konsisten. Islam mengajarkan kepada manusia agar terus menerus melakukan kebaikan. Inti kehidupan adalah kebaikan, yang dirumuskan dalam konsep hablum minallah, hablum minan nas wa hablum minal alam. Berbuat baik kepada Allah melalui serangkaian ibadah yang dilakukan, berbuat baik kepada manusia melalui saling menghargai, menghormati dan toleransi dan saling menolong dalam kebaikan, dan berbuat baik kepada alam karena alam adalah mitra di dalam kehidupan.

Dari tiga hal tersebut, maka kata kuncinya adalah istiqamah. Kita harus istiqamah di dalam menjalankan kebaikan. Shalat harus istiqamah. Terus menerus melakukannya. Jangan melakukan shalat secara bolong-bolong. Hidup merupakan hamparan sajadah memanjang. Jika kita ingin melaju di dalam kehidupan yang aman dan damai, senang dan bahagia di akhirat, maka harus mempertimbangkan pelaksanaan shalat secara istiqamah.

Perbuatan yang paling sulit adalah istiqamah. Namun demikian ada caranya untuk bisa melakukannya, yaitu: 1) kuatkan niat dalam beribadah. Apapun yang terjadi tidak boleh ditinggalkan. Kekuatan niat ini yang menentukan kita melakukan ibadah atau tidak. Setiap perbuatan itu ditentukan oleh niatnya. Jika kita sungguh-sungguh di dalam berniat, maka dipastikan kita akan dapat melakukannya. Barang siapa yang sudah berniat baik tetapi tidak berkuasa melakukannya, maka akan mendapatkan catatan satu pahala, dan jika bisa melakukannya maka akan mendapatkan dua pahala.

2) Menjadi kebiasaan. Jika niat sudah kuat, dan kita melakukan niat yang berupa ibadah maka lama-lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Perbuatan yang dirasakan ada kenikmatannya, maka akan terus menerus dilakukan. Sama halnya dengan melaksanakan dzikir atau wirid, jika dirasakan dengan wirid tersebut ada kenikmatan, misalnya hati menjadi tenang, maka perbuatan dzikir tersebut akan terus dilakukan. Bukankah kita menjadi senang karena melakukan suatu perbuatan yang dapat   menimbulkan kesenangan.

3) Bersahabat dengan dengan orang yang baik. Di dalam tradisi Jawa terdapat pernyataan: wong kang soleh kumpulono, artinya orang yang baik itu harus dijadikan teman akrab di dalam kehidupan. Jika kita kumpul dengan orang yang baik, maka kita potensial menjadi baik, dan jika kita berkumpul dengan orang jahat maka juga potensial menjadi jahat.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita  menjadi bagian dari komunitas orang-orang yang berperilaku baik, sehingga kebaikan akan menjadi teman kita. Dan kita dipastikan akan bisa melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

TRILOGI JALAN KE SURGA: SEMBAH, TAQWA DAN PATUH PADA ALLAH

TRILOGI JALAN KE SURGA: SEMBAH, TAQWA DAN PATUH PADA ALLAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tulisan ini bukanlah tafsir atas ayat Alqur’an,  akan tetapi sebagai upaya untuk memahami kandungan ayat Alqur’an dalam konteks sosiologis. Saya tentu tidak berani menafsirkan ayat-ayat Alqur’an, sebab disiplin keilmuan saya bukanlah berada di dalam ilmu Tafsir yang mempersyaratkan penguasaan ilmu alat atau Bahasa Arab dan segala hal yang terkait dengan metode dan konten memahami ayat-ayat Alqur’an.

Pembahasan ini, saya sampaikan dalam acara Tahsinan Alqur’an pada Surat Nuh, yang menggambarkan tentang pentingnya ibadah sebagai sarana pengabdian, bertaqwa dan mematuhi apa yang diajarkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Acara tahsinan tersebut dilaksanakan pada Hari Senin, ba’da Shubuh, tanggal 06/05/2024. Sebagaimana biasanya, maka Ustadz Alif Rifqi membacakan terjemahannya, dan kemudian saya memberikan sedikit ulasan dalam konteks sosiologisnya.

Ada tiga kata kunci di  dalam Surat Nuh, khususnya pada ayat 3, yaitu: “ani’ budullaha wat taquhu wa ati’un”. Artinya” “(yaitu) sembahlah Allah, bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku”.  Jadi tiga hal ini merupakan satu kesatuan system yang saya sebut sebagai trilogy jalan bagi para pencari surga. Dengan melakukan ketiganya, maka Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosanya dan memberikan kepastian akan dijaganya sampai seseorang kemudian harus meninggalkan dunia fana untuk memasuki alam lainnya.

Jika digambarkan di dalam suatu lingkaran, maka di tengah-tengahnya adalah iman kepada Allah dan seluruh keimanan di dalam Islam, lalu di luar inti tersebut terdapat konsep ibadah, taqwa dan patuh kepada Allah SWT. Iman menentukan seseorang untuk melakukan ibadah, bertaqwa dan patuh kepada Allah. Ketiga aspek ibadah, taqwa dan patuh merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tidak cukup dengan ibadah tetapi juga harus bertaqwa kepada Allah dan mematuhi ajaran yang disampaikan Allah kepada umat manusia.

Iman juga selalu berpasangan dengan amal saleh. Tidak akan terdapat amal saleh yang diakui di dalam Islam kecuali didasari oleh iman kepada Allah. Tetapi juga keimanan kepada Allah tidak boleh berhenti disitu. Sama halnya dengan ibadah, taqwa dan patuh juga merupakan impak dari iman yang diyakini oleh manusia.

Pertama, Tuhan Allah sebagai pusat sesembahan. Tuhan Allah adalah rabb atau sesembahan seluruh alam. Tidak hanya manusia yang menyembah Allah tetapi juga tumbuh-tumbuhan, binatang dan jagad raya. Semua menyebut nama Allah SWT sebagai ilahnya dan juga rabbnya. Semua alam tunduk pada hukum Allah SWT tanpa paksaan. Matahari beredar pada poros edarnya, bumi berputar sesuai garis edarnya, bintang dan seluruh tata surya berrotasi sesuai dengan hukum yang diciptakan Allah. Melalui kepatuhannya tersebut, maka alam menjadi teratur dan fungsional bagi semuanya.

Allah telah menata bahwa air menjalankan fungsinya untuk menumbuhkan tanaman dan menghidupkannya. Jadi hujan adalah uap air dari lautan dan daratan yang naik ke atas menjadi awan, lalu awan yang berkumpul menjadi hujan turun ke bumi dan begitulah seterusnya hukum alam, yang semuanya patuh atas desain Allah atas alam. Semuanya fungsional bagi kehidupan yang sistemik untuk jagad raya.

Jin dan manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah atau menyembah Allah. Di kala manusia lalai, maka Allah menurunkan utusannya. Allah memberikan petunjuk melalui Nabi atau Rasulnya. Itulah sebabnya setiap kaum diberi oleh Allah utusannya untuk menjadi pengingat bagi kaumnya. Rasul kebanyakan memang diturunkan di bumi Timur tengah, tetapi Nabi-Nabi Allah yang berjumlah 126.000 orang bisa diturunkan di mana saja. Bahkan juga diturunkan ke masyarakat Nusantara. Di Italia, di India dan Afrika Allah juga menurunkan Nabi-Nabinya. Mereka semuanya berfungsi untuk menjadi pemberi nasehat agar manusia kembali kepada Allah SWT. Kembali mempercayainya dan kembali untuk menyembahnya.

Kedua, manusia harus bertaqwa kepada Allah.  Manusia  diminta untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Taqwa itu tidak dimaknai sebagai takut tetapi selalu berada di dalam pengawasan Allah. Jadi orang yang bertaqwa selalu mendapatkan pengawasan dari Allah yang Maha Kuasa. Kita meyakini bahwa apa yang kita lakukan selalu berada di dalam pantauan Allah. Jika kita melakukan kekhilafan, maka segeralah berbuat baik, karena perbuatan baik itu akan dapat menghapus kekhilafan. Berbuat baik tersebut misalnya memohon ampunan kepada Allah, berdzikir kepada Allah dan juga berbuat baik kepada sesama manusia bahkan kepada alam di sekeliling kita. Ada Sabda Nabi yang menyatakan agar kita bertaqwa kepada Allah di mana saja, dan jika kita berbuat salah atau khilaf agar kita sesegera mungkin untuk berbuat baik, karena perbuatan baik tersebut dapat menghapus dosa-dosa kita. Semoga Allah selalu membimbing kita untuk melakukan yang terbaik di dalam koridor keberagamaan.

Ketiga,  patuh kepada Allah dan Rasulnya. Patuh kepada keduanya tentu berbeda level. Ada level hakikat substansial dan ada level hakikat instrumental. Patuh kepada Allah itu kemutlakan yang tidak boleh dipertanyakan, dan kepatuhan kepada Nabi Muhammad merupakan washilah untuk kepatuhan tersebut. Artinya orang yang patuh kepada Allah dipastikan juga patuh kepada ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Karena kita adalah makhluk, maka untuk menyampaikan kalam Tuhan yang tak terhingga juga harus menggunakan perantara manusia, dan manusia tersebut adalah telah diwahyukan kalam Tuhan dimaksud. Jadi kala kita berwashilah kepada Nabi Muhammad SAW artinya bahwa kita menyadari jika posisi kita sebagai manusia yang menjadikan manusia sempurna, insan kamil, yaitu Nabi Muhammad sebagai perantara kita kepada Allah SWT. Ada satu doa yang kita baca setiap selesai adzan dikumandangkan: “Ati Sayyidana Muhammadanil washilata wal fadhilah”, yang artinya kurang lebih adalah: “datangkanlah junjungan kami Nabi Muhammad sebagai washilah dan keutamaan”.

Jadi janganlah menyatakan bahwa patuh kepada Nabi Muhammad itu kesesatan, sebab Allah memang menurunkan ayat-ayatnya baik qauliyah maupun kauniyah itu melalui Nabi Muhammad. Patuh kepada Nabi Muhammad hakikatnya adalah patuh kepada Allah SWT. Nabi Muhammad adalah hakikat kepatuhan secara instrumental atau kepatuhan melalui ajaran Allah yang diwahyukannya. Dan hakikat atau substansi kepatuhan tersebut tentu adalah milik Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJAGA  KESEIMBANGAN: CARI DUNIAWI DAN UKHRAWI SEKALIGUS

MENJAGA  KESEIMBANGAN: CARI DUNIAWI DAN UKHRAWI SEKALIGUS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ada suatu pertanyaan menarik sebagaimana disampaikan oleh Pak Karsali pada saat pengajian di Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Pengajian tersebut dilaksanakan pada Hari Selasa, ba’da Shubuh, 27  April 2024.

Pertanyaan tersebut berbunyi sebagai berikut: “ada ustadz yang menyatakan bahwa kita tidak usah mencari kehidupan di dunia. Yang justru kita cari adalah kehidupan akherat. Kehidupan yang abadi itu ada di akherat, maka carilah kehidupan akherat tersebut. Jangan cari kehidupan dunia”.

Jika kita membaca secara selintas atas ucapan ini, maka kita pasti akan membenarkan ungkapan tersebut. Tetapi coba cermati ungkapan ini secara hati-hati dengan mempertimbangkan tentang manfaat kita hidup di dunia dan untuk apa kehidupan di dunia tersebut. Buatlah sebuah pertanyaan lagi, apakah ada kaitan antara kehidupan di dunia dan kehidupan di  akherat. Dari pernyataan-pernyataan tersebut, saya ungkapkan bahwa antara kehidupan di dunia dan kehidupan di akherat harus ada keseimbangan.  Ada tiga hal yang saya jelaskan mengenai hal ini, yaitu:

Pertama, manusia hidup dalam alam yang berbeda-beda. Setiap kehidupan di dalam alam tertentu memiliki relevansi dan fungsi bagi kehidupan sesudahnya. Manusia hidup dalam empat alam yang berbeda. Ada kehidupan di dalam alam roh, yang kita tidak tahu berapa lamanya, tetapi jika dilihat dari takdir kehidupan yang telah didesain Tuhan Allah, maka sudah ditetapkan takdir kehidupan di dunia itu selama 50 juta tahun sebelum diciptakan dunia dan  seluruh tata surya yang terdapat di dalamnya. Ada waktu yang lama  di alam roh sampai kemudian hadir ke dunia melalui washilah perjodohan antara lelaki dan perempuan. Di dalam agama-agama Semitis diyakini bahwa manusia pertama yang berjodoh adalah Adam dan Hawa. Keduanya diturunkan dari surga dan kemudian menempati alam dunia yang kita kenal sekarang.

Berdasarkan temuan manusia Neanderthal, bahwa manusia dalam fosil tertua itu diperkirakan 75 ribu tahun sebelum masehi atau disebut sebagai homo Neanderthalensis. Makhluk ini sudah mirip dengan homo sapien. Sementara itu manusia Jawa tertua berusia 70 ribu tahun. Yang dikenal sebagai Megantropus Paleojavanicus. Berdasarkan penelitian atas fosil-fosilnya sudah menggambarkan sebagai makhluk social. Manusia kemudian berkembang terus sehingga menjadi manusia modern seperti sekarang. Tetapi manusia dalam kurun 4.000-5.000 tahun yang lalu juga sudah modern misalnya dengan ditemukannya ukiran kayu, perhiasan emas dan Menara Gizza atau piramida di Mesir. Bahkan di Indonesia juga sudah ditemukan manusia dalam usia 5.000 tahun yang lalu di Pegunungan Jawa Barat atau di Gunung Padang. Namun temuan ini disebut sebagai kebudayaan yang hilang.

Manusia dilengkapi oleh Allah dengan instrument untuk menjaga dan mengembangkan kehidupan. Ada instrument fisik atau biologis untuk mengembangbiakkan keturunan, memenuhi kebutuhan fisik dan melangsungkan kehidupan. Ada instrument religious, yaitu keinginan manusia untuk mengekspresikan keyakinannya akan keberadaan Tuhan dan berbagai ajaran agama di dalamnya. Di dalam kehidupan di dunia ini lalu Tuhan menurunkan utusannya, Nabi dan Rasul, untuk membimbing manusia agar berada di jalan kebenaran.

Dalam waktu yang ditentukan, kemudian manusia akan masuk ke dalam alam barzakh atau alam kubur dalam waktu yang kita semua tidak tahu berapa lamanya dan kemudian terakhir akan masuk ke dunia akherat yang sebagaimana di dalam teks Kitab Suci ada yang akan abadi di dalam surga dan ada yang masuk ke neraka. Tidak ada informasi yang jelas dari teks suci tentang berapa lama dan sampai kapan manusia akan berada di surga atau neraka. Kecuali disebutkan ada yang berlaku kekal. Tentu bisa mengandung perdebatan secara teologis, apakah ada yang kekal selain Allah. Tentang hal ini saya tidak bisa menjawabnya.

Kedua,  alam roh, alam dunia, alam kubur dan alam akhirat adalah satu kesatuan. Jasad bisa rusak atau hancur, karena jasad bersifat fisik dan apa saja yang bersifat fisik pasti akan rusak. Ini dalil yang tidak bisa dibantah, kecuali Allah menghendaki lain. Semua yang terkena api akan terbakar tetapi khusus Nabi Ibrahim, api tidak membakarnya. Ini adalah kehendak Allah.

Karena kehidupan itu sistemik, maka juga harus disikapi dan dipahami secara sistemik. Artinya bahwa antara alam dunia, alam barzakh dan alam akhirat merupakan sesuatu yang berkesinambungan. Tidak bisa dipisahkan. Orang yang iman kepada Allah dan beramal shalih, maka yang bersangkutan akan memasuki alam barzakh dan alam akhirat dengan kebahagiaan, sebaliknya orang yang ingkar akan keberadaan Allah dan melakukan amal kebatilan, maka yang bersangkutan akan hidup dalam ketidakbahagiaan di alam-alam berikutnya. Jadi manusia harus melihat bahwa kehidupan duniawi itu merupakan jembatan untuk menuju alam lainnya.

Ketiga, akhirat memang utama karena di situlah tempat manusia yang “abadi”. Dunia dan alam barzakh hanyalah alam antara. Di dalam filsafat Jawa disebutkan: wong urip mung mampir ngombe, orang hidup di dunia itu ibarat bepergian dan kemudian berhenti minum air saja. Makanya jika manusia mengutamakan akhirat tentu bukan sesuatu yang salah. Tetapi dunia adalah instrument untuk menuju akhirat, artinya bahwa orang tidak boleh melupakan bahwa manusia hidup di dunia. Makanya fungsi kehidupan duniawi juga mestilah diperankan. Tidak boleh dilupakan. Manusia tetap membutuhkan makan, minum dan kebutuhan lainnya yang seharusnya dilakukan dengan baik. Manusia membutuhkan tempat berteduh, memerlukan pakaian, memerlukan relasi social dan lainnya. Semuanya harus dipenuhi dengan perilaku yang baik. Amalan shalihan.

Oleh karena itu yang terbaik adalah mengutamakan hidup untuk akhirat dengan tetap menjalankan fungsi sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab pribadi, keluarga dan masyarakat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MUHSININ: MENJADI DISAYANG ALLAH

MUHSININ: MENJADI DISAYANG ALLAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagai komunitas mengaji, maka Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) secara konsisten menyelenggarakan pengajian pada setiap hari Selasa Ba’da Shubuh selama kurang kebih 60 menit. Dari jam 04.30-05.30. memang hanya satu jam. Temanya juga tergantung pada apa yang sedang ngetren atau memang diperlukan solusi atas masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat atau sekurang-kurangnya dirasakan masalahnya oleh jamaah KNB. Ngaji kali ini diselenggarakan pada tanggal 30/04/2024.

Rasanya cepat sekali hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa tahun 2024 sudah berjalan selama empat bulan. Tetapi di atas semuanya, kita tentu bisa bersyukur karena masih diberikan nikmat oleh Allah berupa menjadi umat Islam, sehingga peluang untuk selamat fid dini wad dunya wal akhirah itu masih tetap terjaga. Asa kita adalah dapat menjadi umat Islam yang memperoleh rahmat Allah SWT.

Pada ngaji kali ini, saya sampaikan tiga hal terkait dengan kata  muhsinin atau orang yang berbuat kebaikan. Pertama, salah satu ayat Alqur’an yang sering dibaca pada saat acara halal bihalal di Indonesia adalah: “wa sari’u ila maghfiratim min rabbikum wa jannatin ardhuha samawatu wal ardhu u’iddat lil muttaqin. Alladzina yunfiquna fis sarrai wadh dharrai wal kadziminal ghaidha wal ‘afina ‘anin nas, wallahu yuhibbul muhsinin”. Tidak secara keseluruhan arti dari ayat ini, saya jelaskan. Saya hanya akan menjelaskan tentang muhsinin, sebagaimana akhir dari ayat di atas. Kata muhsinin berarti orang-orang yang melakukan kebaikan. Allah menyayangi orang yang berbuat kebaikan. Muhsinin adalah label yang diberikan oleh Allah kepada orang yang menjalankan kebaikan di jalan Allah.

Sesuai dengan konteks ayat tersebut, maka kata muhsinin berarti dikaitkan dengan orang yang tetap berinfaq di jalan Allah meskipun dalam keadaan kesulitan atau kesempitan. Orang yang tetap berbuat baik di dalam keadaan yang tidak mungkin berbuat baik, atau orang yang tetap menjalankan ajaran agamanya pada saat banyak orang yang mengingkari kebenaran ajaran agama. Infaq atau menafkahkan diartikan dalam dunia fiqih sebagai memberikan sebagian kecil hartanya untuk kepentingan umat. Jadi menurut fiqh ada kaitannya dengan kepemilikan atau asset.

Oleh karena itu, seringkali kita memaknai kata yunfiqu itu dengan memberikan sebagian kecil harta yang kita miliki untuk kepentingan kebaikan lain, misalnya memberikan infaq ke masjid, mushalla, ke Lembaga Pendidikan Islam,  anak fakir, yatim, kaum mustadh’afin  dan sebagainya. Inilah yang kemudian saya pahami sebagai konteks infaq dalam pengertian khusus,  menginfaqkan harta benda. Maka kemudian bisa saja dipahami bahwa ada kata infaq dalam konteks yang lebih luas.

Kedua, saya ingin menegaskan bahwa terdapat infaq atau pemberian dalam bentuk yang lebih luas. Saya membagi kata infaq atau pemberian tersebut dalam tiga hal, yaitu: 1) infaq dalam konteks pemberian gagasan, pikiran dan ide yang berselaras dengan kebaikan. Kata kuncinya adalah kebaikan. Menginfakkan gagasan. Jika saya memberikan wejangan atau taushiyah yang kemudian diterima oleh para audience atau mitra gagasan, dan kemudian dapat diambil manfaatnya, maka hal tersebut merupakan infaq gagasan. Ini saya sebut sebagai infaq bil aqli.

2) Ada juga infaq dalam arti luas adalah mendoakan kebaikan kepada orang lain. Misalnya kita berdoa agar seseorang diberikan keselamatan oleh Allah dalam suatu perjalanan. Seseorang mendoakan agar seseorang lainnya  memperoleh kebahagiaan. Mendoakan seseorang agar selalu berada di dalam Allah, atau mendoakan seseorang agar kehidupannya bermanfaat fid dini wa dunya wal akhirah. Juga mendoakan agar rezekinya lebih banyak dan bermanfaat. Berdoa agar diberikan keluasan rejeki bagi orang lain dan sebagainya. Termasuk di dalamnya adalah menyenangkan hati orang dengan apa yang kita ceritakan adalah sebuah infak dalam arti luas. Semua ini saya gambarkan sebagai infaq bil qalbi.

3) Ada juga infaq dalam konteks mendarmabaktikan hartanya untuk kepentingan kebaikan, atau orang yang melakukan kebaikan untuk orang lain. Misalnya jika kita memiliki rejeki, maka sebagian kecil lalu kita upayakan untuk mengembangkan potensi kebaikan bagi orang lain. Jika kita suka menginfakkan atau memberikan kebaikan dalam bentuk amalan yang nyata, maka kita telah berada di dalam level tertinggi. Pikiran dan hati yang selalu mengembangkannya untuk orang lain sudah  baik, akan tetapi akan menjadi lebih afdhal jika kemudian kita mengamalkan kebaikan dan kebaikan tersebut untuk ditransformasikan kepada orang lain. Kita menasehati dan berdoa agar orang mau bersedekah atau berinfaq dengan hartanya, maka di kala kita mengamalkannya, maka hal tersebut menjadi kebaikan yang nyata. Inilah yang saya sebut dengan infaq bil fi’li.

Sesungguhnya apa yang saya sampaikan ini bukanlah pendekatan fiqih yang lebih mengedepankan pemahaman bahwa infaq itu pasti ada kaitannya dengan harta atau asset. Jadi infaq itu bisa dengan uang, barang dan benda-benda yang bisa dikaitkan dengan kata infaq. Apa yang saya sampaikan merupakan gagasan atau ide untuk memperluas cakrawala bahwa siapapun bisa berinfaq. Pemahaman ini lebih bercorak sosiologis. Menggambarkan relasi social sesama umat Islam.

Orang yang hanya menguasai satu ayat, maka dia bisa memberikan pengetahuannya  kepada orang lain. Jika kita bisa berdoa maka berdoa yang baik kepada orang lain juga bagian dari infaq kepada kabaikan. Dan jika kita bisa memberikan sebagian kecil harta kita untuk kepentingan kebaikan berbasis pada ajaran agama, maka hal tersebut pastilah sebagai infaq.

Marilah kita infakkan apa yang bisa kita lakukan untuk kepentingan mengembangkan Islam yang saling menyayangi, Islam yang saling mengasihi dan Islam yang memberikan kerahmatan bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MAKANAN: BUKAN HANYA KEPENTINGAN FISIK

MAKANAN: BUKAN HANYA KEPENTINGAN FISIK

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam acara Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), acara tahsinan hari Senin, 29/04/2024, terdapat pertanyaan menarik yang disampaikan oleh Pak Suryanto anggota KNB yang sangat anstusiastik. Beliau menanyakan bahwa manusia membutuhkan asupan makanan untuk membuatnya menjadi cerdas. Jika seorang anak terutama di dalam usia tumbuh kembang diberikan asupan yang memadai gizinya, maka akan cenderung menjadi cerdas.

Atas paparan ini, maka kemudian saya sampaikan bahwa makanan tentu memiliki pengaruh yang besar bagi kecerdasan anak terutama usia balita, dan masa pertumbuhan berikutnya. Sesungguhnya,  bahwa makanan yang sehat dan halal tentu memberikan pengaruh yang baik bagi pertumbuhan anak. Makanan yang halalan thayyiban. Makanan yang halal dan sehat atau baik. Baik,  di dalam konteks ini adalah memenuhi standart gizi atau memiliki   keseimbangan antara karbohidrat dan protein serta nutrisi yang cukup.

Terhadap pernyataan ini, maka saya memberikan penjelasan tambahan, yaitu: pertama, kecerdasan merupakan gabungan antara pengaruh genetika dan lingkungan. Genetika orang tuanya memiliki pengaruh antara 40-60 persen, dan pengaruh genetika Ibu cenderung lebih tinggi, artinya jika ibunya pintar, maka anaknya akan berkecenderungan pintar. Tidak disebut dominan tetapi berpeluang lebih besar. Sedangkan factor lingkungan adalah tradisi makanan yang bergizi, sehat dan menyehatkan. Dengan demikian kecerdasan tergantung pada factor gen dan juga tradisi makanan.

Kita bisa bertanya, bahwa kalau demikian berarti anak orang kaya cenderung pintar dibandingkan dengan anak-anak yang datang dari keluarga miskin? Secara konseptual bisa dijawab ya. Artinya bahwa ketercukupan gizi menjadi salah satu penentu. Namun perlu juga diingat bahwa tidak semua makanan yang tersaji memiliki kandungan  gizi yang baik. Orang kaya cenderung memberikan makanan anak-anaknya dengan komposisi daging, baik daging ayam atau daging kambing atau sapi, sehingga melupakan bahwa ada kebutuhan akan sayuran dan karbohidrat lainnya. Jadi sesungguhnya mesti terdapat kesadaran bahwa makanan yang sehat itu penting, apapun jenis makanannya. Ada orang yang kekurangan harta tetapi memiliki kesadaran untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya. Orang tersebut memberikan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan  yang dimakannya.

Di masa lalu, orang cenderung memberikan makanan yang lebih bergizi, tetapi seirama dengan perkembangan makanan instan dan makanan kering atau camilan, maka banyak makanan yang sesungguhnya kurang baik. Baik di kota maupun di desa ada perubahan tradisi makan dimaksud.

Kedua, makanan yang juga penting ada makanan yang berisi makanan spiritual. Manusia tidak hanya memerlukan makanan untuk pemenuhan kebutuhan biologis, akan tetapi juga perlu makanan untuk kepentingan jiwanya. Manusia tidak hanya memiliki kebutuhan biologis, tetapi juga kebutuhan social dan kebutuhan integrative. Kebutuhan biologis bisa dipenuhi dengan makan apa saja yang dianggapnya penting, tetapi kebutuhan social juga harus dipenuhi dengan mengajarkan tentang pentingnya membangun relasi social yang seimbang. Harus terdapat di dalam rumah tangga proses enkulturasi atau transformasi pengetahuan, nilai dan agama. Keduanya diperlukan agar seorang anak dapat memiliki moralitas yang baik sesuai dengan norma-norma agama.

Makanan bagi jiwa tentu terkait dengan keinginan agar jiwa menjadi jiwa yang tenang atau nafsu mutmainnah dan menghindari nafsu amarah dan lawwamah. Nafsu amarah adalah nafsu untuk memenuhi kebutuhan biologis saja. Apa saja yang terkait dengan kebutuhan biologis ingin dipenuhinya. Jika seseorang hanya mementingkan kebutuhan fisiknya, maka bisa disebut sebagai kal hayawan atau seperti hewan. Sedangkan jika berkeinginan dengan nafsu mutmainnah maka akan seperti malaikat atau kal malaikah.

Manusia sebagai makhluk biologis tentu memerlukan asupan biologis. Dan manusia sebagai makhluk spiritual tentu juga membutuhkan asupan rohaniyah atau asupan kejiwaan. Oleh karena itu, yang terpenting sesuangguhny adalah mendamaikan di antara kebutuhan fisik atau dimensi biologis yang bersepadupadan dengan kebutuhan kejiwaan dan kebutuhan spiritual. Agar dimanej keduanya dalam satu pemahaman bahwa kehilangan salah satunya adalah sebuah problem yang mendasar.

Kita sedang hidup di dunia. Tentu saja bahwa yang berlaku adalah hukum dunia. Oleh karena itu kita tidak dapat menyelesaikan problem duniawi dengan cara-cara lain selain dengan cara duniawi. Kita sering menyatakan: “pasrahkan kepada Allah  semuanya”. Akan tetapi tentu tidak mudah hal itu dilakukan, sebab keterikatan kita dengan dunia di mana kita hidup.

Oleh karena itu, cara yang tepat kiranya adalah menempatkan pasrah kepada Allah itu sebagai final goal, tetapi tetap menjadikan dunia tempat kita hidup sebagai tujuan antara atau instrumental goal. Jadi tetaplah memohon kepada Allah kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akherat.

Wallahu a’lam bi al shawab.